Lelah berbalut semangat. Mungkin itu kalimat yang tepat untuk menggambarkan suasana Sabtu sore (24/08) di Desa Kuli, kecamatan Lobalain, Rote Ndao. Puluhan anak-anak yang terbagi dalam beberapa kelompok berbaris rapih. Ternyata jumlah peserta dalam kegiatan di hari Sabtu ini diluar perkiraanku, sangat banyak. Mereka adalah para anggota pramuka SD Inpres Batulai yang akan berjalan kaki untuk kerja bakti di Bukit Mando’o atau yang lebih dikenal dengan Tangga 300.
kuli
SALAM MERDEKA DARI UJUNG SELATAN INDONESIA
Seandainya perang dengan Australia dan para sekutunya, mungkin Pulau Rote ini yang akan pertama kali di serang oleh mereka
Aku memang tidak terlalu paham betul dengan geopolitik dan kegiatan perang-perangannya. Namun tempat ini berada di halaman paling selatan Indonesia. Tempat ini juga yang paling jauh dari garis khatulistiwa di negara tercinta sekitar 1.300 km, bandingkan dengan Sabang (tempat paling utara) yang hanya sekitar 630 km saja. Mereka yang tinggal di Rote adalah para penjaga wilayah Indonesia dari campur tangan negara lain. Rasa nasionalisme menjadi begitu penting disini. Tempat ini menghadap ke benua yang sangat maju pembangunannya. Kondisi Rote yang tertinggal dan rasa iri dengan kemajuan negara tetangga bisa saja berpotensi melunturkan semangat cinta tanah air.
Sang Fajar dari Batulai
Pukul 06:15 WITA, pagi ini mentari mulai memancarkan cahayanya dengan riang di Desa Kuli. Kambing, kuda, dan kambing sudah memulai aktivitasnya memakan rumput di tanah Rote Ndao yang sedang menghijau. Jika di lihat dari atas bukit, desa ini lebih menyerupai hutan lontar. Rumah-rumah tidak kelihatan karena banyaknya pohon lontar yang tumbuh. Pohon-pohon inilah yang menjadi penghias jalan dari rumah keluargaku hingga ke SD Inpres Batulai.
Laboratorium di Desa Kuli, Pulau Rote
Satu satu dia slalu makan
Dua dua dia slalu tumbuh
Tiga tiga dia slalu gerak
Yang empat bernafas
Lima berkembang biak
Parodi dari lagu Satu Satu Aku Sayang Ibu itu dilantunkan dengan nyaring oleh siswaku di SD Inpres Batulai pada jam pertama. Hari ini adalah pelajaran IPA dengan materi penggolongan makhluk hidup dan benda mati. Sudah tiga hari ini para siswa bosan dengan suasana kelas yang kaku. Anak-anak di Pulau Rote sepertinya memang psikomotoris sejati. Duduk diam sambil mendengarkan guru menjelaskan pelajaran terasa sangat membosankan bagi mereka #begitupula denganku.
Akhirnya, Tangga 300
Setelah beberapa kali tertunda, akhirnya di hari ketiga puasa ini aku dan tujuh orang anak di sekitar tempat tinggalku pergi menuju Bukit Mando’o. Kami melewati Pasar Kuli yang saat itu sedang ramai. Sebagai desa yang kecil di selatan Pulau Rote, pasar tradisional hanya buka pada hari Kamis saja. Barang dagangan yang dijual cukup lengkap, mulai dari buku tulis, sayur, hingga peralatan tukang. Beberapa anak yang ikut bersamaku membeli alat tulis untuk keperluan tahun ajaran baru.
Semua Harus Berawal dari Nadi Sendiri
Pagi ini mentari sudah menampakan dari pegunungan tengah Pulau Rote. Dari Desa Kuli, pegunungan itu memang menghalangi kita menimati sinar perdana mentari. Namun pegunungan itulah yang membuat pemandangan pagi dari desa ini sangat indah.
Terkesan Dengan Pengadilan Mandiri di Desa Kuli
Di Desa Kuli, aku menemui kejadian menarik. Ketika teman-teman Pengajar Muda sedang berkunjung ke rumah ku di Kampung Batulai, Desa Kuli, terlihat sekelompok masyarakat sedang berkumpul membahas suatu hal. Melihat ekspresi wajah mereka, sesuatu yang mereka bahas sepertinya adalah hal yang cukup serius. Opa memberitahu bahwa telah terjadi permasalahan rumah tangga yang dapat dianggap melanggar norma adat maupun agama di desa ini. Oleh karena itu, tokoh masyarakat dan perangkat kampung melakukan musyawarah untuk turut serta dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi.