“It Is Not The Mountain We Conquered But Our Selves, 3726 MDPL Mt. Rinjani”
Kalimat yang sangat indah itu akhirnya terbaca setelah aku tergopoh-gopoh mencapai puncak seorang diri di tengah kegelapan malam.
Rinjani setidaknya membawa dua gengsi bagi siapapun yang pernah mendakinya. Gengsi pertama adalah bahwa Rinjani adalah Gunung Berapi tertinggi kedua di Indonesia. Sementara gengsi kedua adalah bisa jadi Gunung Rinjani merupakan gunung dengan pemandangan terindah di Indonesia.
Hasrat besar untuk mendaki ini muncul karena sebuah sindiran.
“Kamu gak pernah naik gunung? Padahal kamu kuliah di Jogja?”
Njiiiir, memang terasa sangat menohok dan benar juga sih. Hidup bertahun-tahun di Jogja yang dikelilingi banyak gunung cantik berbagai tingkatan level, dan saya belum pernah mendaki satupun. Bahkan mendaki dua gunung fenomenal yang seperti gambaran anak kecil, Sindoro Sumbing-pun belum pernah, padahal saya berasal dari Temanggung, kota yang juga dipagari gunung-gunung indah.
Kali ini saya sudah menjadi warga pendatang di Lombok. Bang Adi, kenalanku ketika berjumpa di Sekotong mengatakan, belum sah menjadi warga Lombok kalau belum ke Puncak Rinjani. Hmmm okay, sepertinya sangat menantang sekali. Iseng-iseng saya tanyakan ke teman kantor yang asli Lombok. Sudah pernah ke Puncak Rinjani?
Jedyaaaar, mayoritas belum, hampir semua malah belum pernah.
Sebagai pegawai baru, saya memang belum mendapatkan hak cuti. Maka, waktu yang tepat untuk mendaki Rinjani adalah ketika lebaran. Ya, lebaran, momen ketika saya bisa mendapatkan libur panjang dan Rinjani pasti sepi. Oke fix, liburan lebaran. Njuk dengan siapa saya pergi? Gak mungkin pergi sendiri, walaupun sebenarnya bisa saja, karena rute pendakian ke Rinjani sudah dipetakan secara detail oleh Garmin.
Tiba-tiba Laura, traveller sekaligus temanku satu angkatan di Indonesia Mengajar mengirim pesan Whatsapp, begini percakapannya
Yeaaah Rinjani MAAAAAN. Gunung yang selama ini hanya dapat saya saksikan dari kejauhan. Akhirnya, saya akan silaturahmi ke tempatmu.
LANGSUNG KE CERITA PENDAKIAN
Kami sudah berada di Gerbang Masuk Kawasan Konservasi Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) di Sembalun, DAN MASIH DALAM SUASANA BERPUASA. Saya, Laura dan lima orang kenalan dari forum Backpacker Indonesia siap mendaki Rinjani tepat pukul 11:00 WITA #BesertaDuaOrangPorterTangguh. Saya satu-satunya muslim dan berpuasa.
Selepas gerbang masuk TNGR, hawa pendakian masih belum terasa. Kemiringan jalur pendakian masih sangat landai. Padang sabana mendominasi pemandangan di sepanjang waktu. Jalur terlihat sangat jelas, dan banyak kita jumpai kotoran sapi. Di beberapa tempat tersedia jembatan beton dengan kondisi apa adanya untuk melintasi sungai yang saat itu sedang kering. Jika cuaca cerah, Gunung Rinjani katanya terlihat sangat jelas. Sayang, Rinjani saat itu tertutup awan. Untungnya Bukit Nanggu dan Pergasingan masih terlihat sangat jelas di seberang sana.
Kami beristirahat sejenak di Pos 1. Di pos ini banyak pendaki yang beristirahat. Sebagian besar dari mereka adalah pendaki mancanegara. Cuaca cerah, namun terkadang matahari tertutup awan dan kabut. Perjalanan masih jauh bro. Pos dua terlihat jelas dari Pos 1, sehingga membuat kami bersemangat untuk melanjutkan perjalanan.
Pukul 13:30 kami tiba di Pos 2. Suasananya semakin sejuk karena semakin tinggi dari permukaan laut. Sampai di Pos 2, saya merasa masih kuat untuk berpuasa padahal sudah 9 jam belum makan minum sejak sahur. Naaaah, dari hal ini saya mendapatkan pelajaran bahwa ketika terjadi situasi darurat di gunung, berusaha lah untuk tidak panik secara berlebihan. Jika diniatkan, puasa ketika melakukan pendakian itu tidak berpengaruh sama sekali terhadap stamina tubuh. Jika sejak awal saya gak niat berpuasa, saya yakin satu botol air mineral akan saya habisi. Hehehehehe.
Perjalanan telah sampai di Pos 3. Berbeda dengan Pos 1 dan Pos 2 yang berada di padang sabana, Pos 3 terletak di tebing. di bawah Pos 3 terdapat aliran sungai yang telah mengering, yang sering dijadikan pendaki sebagai tempat mendirikan tenda. Kami memutuskan untuk mendirikan tenda untuk bermalam di Pos 3 ekstra yang terletak di antara Pos 3 dengan bukit penyesalan.
Pos 3 ekstra terletak di punggung bukit. Memang tidak ada sumber air disini, untungnya, porter kami telah mengambilkan kami air di pos bayangan sebelum Pos 3. Namun pemandangan tempat kami bermalam ini sangat indah. Kami bisa menyaksikan Gunung Rinjani dengan sangat jelas. Ketika sunset maupun sunrise, suasana menjadi sangat dramatis. Awan-awan yang mengitari Rinjani posisinya di bawah kami, bernuansa emas. Aaaaah, bahkan foto pun sulit mendeskripsikan bagusnya suasana yang kami rasakan.
Beranjak dari Pos 3 ekstra, kami menuju Plawangan Sembalun. Rencananya, di Plawangan Sembalun inilah kami bermalam sebelum mencapai puncak. Bukan perkara mudah menapakan kaki di Plawangan Sembalun. Apalagi kalau bukan jalur yang nanjaknya gak karu-karuan, bernama Cemara Ciu, Freak abis. Bukit yang berselimut pepohonan Cemara ini seperti tidak ada habis-habisnya. Satu hal yang membuat saya semangat adalah, SAYA INGIN MELIHAT SEGARA ANAK.
Setelah bertanya kepada beberapa orang yang turun, tibalah saya di punggung bukit yang memisahkan lereng Rinjani dengan Segara Anak. Punggung bukit inilah yang bernama Pelawangan Sembalun. 3 langkah sebelumnya saya mencoba menutup mata. 1……..2……..3……… Bismillah,,, Luar biasa,,, Kereeeeen,,, aaaa saya teriak-teriak seperti orang gila (tapi dalam hati). Anjeeeer keren banget Segara Anak. Tampak Gunung Baru Jari yang pada akhir tahun 2015 lalu meletus, masih mengepulkan asap putihnya.
Angin di Plawangan Sembalun sangat kencang, dan suhu udara sangat-sangat dingin. Saat kami tidur, tenda kami terasa seperti di dorong-dorong, suara angin menambah ketegangan. Pastikan tenda berdiri di lokasi yang tepat, terpasang dengan benar dan pasak menancap dengan baik. Waspada juga terhadap monyet-monyet nakal. Saat itu ada kejadian, monyet merobek tenda pendaki dan mencuri logistik di dalamnya. Boleh mengusir monyet tapi dilarang menyakiti.
Pukul 1 malam, kami bergegas menuju puncak. Langit terlihat bersih dari awan maupun cahaya bulan, bintang terlihat jelas. Kelap-kelip lampu warga Lombok bertebaran di sisi utara. Jalur summit sangat menggentarkan hati, berpasir dan labil. Puncak Rinjani dapat ditempuh melalui bibir kaldera. Puncak Rinjani terlihat samar-samar dari kejauhan. Menjelang puncak tertinggi, kemiringan jalur semakin menggila. Maju satu langkah, mundur seperempat langkah. Medan berpasir, dan lebih labil. Seperti itu terulang-ulang.
Tibalah saya pada titik yang sangat emosional. 3,5 jam berjalan tergopoh-gopoh, saya melihat sebuah papan hitam bertuliskan
It Is Not The Mountain We Conquered But Our Selves, 3726 MDPL Mt. Rinjani.
Aaaaaaaah, itu adalah kalimat terindah yang pernah saya baca, sebuah kalimat yang seolah-olah merangkum kehidupan saya selama ini. Bukan gunung, tapi diri sendiri lah yang sedang kita taklukan. Air mata saya hampir terjatuh, beruntung bisa saya tahan. Saya ingat bahwa beberapa jam lagi, ketika matahari terbit adalah waktu perayaan Idul Fitri. Moment ketika semua berkumpul dengan keluarganya, tetapi orang tua saya dengan ikhlas mengijinkan keinginan saya menikmati Rinjani ketika sunyi. Dalam suasana haru seorang diri itu, beberapa pendaki muncul menemani saya satu persatu. Kami pun saling bersalaman sambil mengucapkan selamat Idul Fitri. Bagi saya ini adalah moment Idul Fitri terkeren yang pernah saya rasakan.
Pemandangan dari Puncak Rinjani menyajikan suasana yang sangat berkesan. Saat langit masih dikuasai bintang-bintang, hampir seluruh penjuru Pulau Lombok seperti Mataram, Praya, Selong, Tanjung bahkan Gili Trawangan terlihat jelas kerlap kerlip lampunya. Segara Anak dan Gunung Baru Jari seolah menyapa dari bawah. Pulau Sumbawa terlihat jelas di bagian timur, dan Pulau Bali tampak diwakili oleh Gunung Agung.
Saya merasakan momen-momen paling bahagia. Rinjani dengan segala gelarnya bisa saya nikmati dengan selamat dan sehat walafiat tanpa ada kendala apapun. Bahagianya jadi orang Indonesia, bahagianya jadi orang Lombok, ketika mahakarya Yang Maha Kuasa, bisa dinikmati dari jarak sejengkal.
Baca juga cerita saya ketika Menuruni Gunung Rinjani Melalui Jalur Torean
wan, tulisanmu emosional sekali lho, bacanya aja sampe tahan-tahan napas…haha.
ditambah gambar-gambar yang cianmik itu…totally bikin mupeng.
Iya Mendeeee, sumpah, Rinjani adalah tempat paling keren yang pernah aku liat.. April 2017 aku sama Tiva mau kesini lagi. Ikut ajaaa
tidak ada yang akan melayani pendakian ke gunung rinjani untuk hari raya Idul Fitri, semua porter dan guide libur, sekarang peraturan ketat dari balai Taman Nasional Gunung Rinjani harus melalui Agent Perjalanan Wisata yang memiliki izin usaha, dan tidak diperkenankan menyewa guide dan porter langsung dari bawah kaki gunung Rinjani, itulah peraturan sekarang yang ketat!
ya ampuunnn……
saya bisa merasakan “emosi” dalam tulisan diatas….
thank you for sharing ya bro…
Juni 2018 nanti saya mau ke Rinjani…
semoga lancar…
salam Hangat dari saya…
hehehe
semoga lancar sampai puncak, sampai rumah, semoga sehat selalu di Gunung Paling indah sejagat raya