Salahkah Aku Minta Pindah?

Masih berbicara tentang kebijakan Pak Menteri Perhubungan tentang tarif murah maskapai penerbangan. Konon kata Pak Menteri Ignasius Jonan, tarif murah mengabaikan aspek keselamatan penerbangan. Banyak yang menentang dan ada juga yang mendukung (sih). Maklum, sejak low cost flight kini siapapun bisa terbang, asal ada uang (walaupun sedikit). Maklum, selama saya naik pesawat, hampir seluruhnya dibiayai.

Gunung Tambora dalam penerbangan Lion Air Kupang-Jakarta. Dalam penerbangan ini, saya duduk di kursi dekat dengan jendela darurat.

Gunung Tambora dalam penerbangan Lion Air Kupang-Jakarta. Dalam penerbangan ini, saya duduk di kursi dekat dengan jendela darurat.

Nah kali ini saya akan bercerita penerbangan perdana saya secara yarwe alias baYAR dheWE yang mungkin (mungkin lhooo) berkaitan dengan anggapan Pak Menteri terkait tiket murah.

Sebagai orang asli Indonesia, malu dong gak pernah ke Bali, pulau yang dalam beberapa kali survei selalu menempati urutan pertama soal keindahan. Setelah beberapa kali galau akhirnya saya  memutuskan untuk jalan-jalan ke Bali, apalagi saya punya beberapa kenalan guru SM3T (Sarjana Mendidik di daerah 3 T) Pulau Rote, salah satunya Pak Dedi yang tinggal di Gianyar (ngarep numpang gratisan).

Mulailah saya berburu tiket di internet dan akhirnya dapat tiket termurah pada hari itu, yaitu Air Asia. Setelah pesan tiket, saya memutuskan untuk web check in supaya tidak terburu-buru ke bandara (walaupun rumah saya dekaaat sekali dengan bandara). Saya langsung milih tempat duduk yang dekat jendela atau dekat pintu darurat (karena lebih lapang). Gagal, ya gagal. Ternyata yang duduk di dekat jendela atau pintu darurat harus membayar biaya tambahan. Akhirnya saya memilih duduk di dekat lorong bagian belakang.

Sampai pada hari H penerbangan, saya masuk ke pesawat Air Asia yang penuh dengan ‘asap’ sejuk (hehehehe). Dinginnya lebay pakai asap segala. Saat itu kondisi penumpang cukup ramai sebelah kiri saya ibu dengan anaknya masih balita (menyusui aktif :D) sebelah kanan saya, seberang lorong ibu dengan anak balitanya juga yang masih aktif menyusui T.T) akhirnya saya hanya bisa memandang lurus ke depan ketika kedua ibu itu menyusui bersama-sama. Saya perhatikan deretan kursi dekat pintu darurat nyaris kosong. Dari keempat kursi yang berada di sisi pintu darurat, hanya satu kursi yang terisi. Ketika pramugari berseragam merah lewat, saya ingin menanyakan apakah bisa pindah ke deretan kursi yang dekat dengan pintu darurat? Ternyata tidak bisa >:3, pikiran baik saya mengatakan, mungkin sudah terisi calon penumpang lain yang belum masuk pesawat.

Sesaat sebelum lepas landas, kursi-kursi berwarna merah tersebut masih kosong. Waduh, kok bisa ya tetap dikosongkan. Padahal orang-orang di deretan kursi tersebut sangat penting ketika terjadi keadaan darurat. Siapa yang membuka pintu darurat tersebut? Apakah pintu darurat pesawat Air Asia dapat terbuka secara otomatis?

Hal ini sangat berbeda ketika saya menggunakan Lion Air perjalanan Kupang – Jakarta. Awalnya saya duduk di belakang deretan kursi yang dekat dengan pintu darurat. Lalu pramugari Lion Air datang menghampiri saya untuk meminta kesediaan berpindah tempat duduk ke kursi yang kosong dekat pintu darurat. Setelah berpindah, saya merasakan jarak kursi yang lebih lebar dan sangat nyaman. Jarak antar kursi yang lebar berfungsi agar proses evakuasi melalui pintu darurat berjalan lancar. Bahkan awak kabin akan memberikan panduan keselamatan khusus kepada mereka yang duduk di kursi dekat pintu darurat.

Lalu apa kaitannya antara kursi dekat pintu darurat yang kosong, tarif murah, dan keselamatan penerbangan? In my humble opinion based on my story, adanya tarif murah mengakibatkan banyak persyaratan ini itu kepada penumpang. Salah satunya adalah adanya biaya tambahan kepada penumpang yang ingin duduk dekat pintu darurat. Nah, karena itulah yang menyebabkan orang-orang cenderung memilih posisi tempat duduk yang tidak dikenakan biaya tambahan. Akhirnya deretan kursi yang dekat dengan pintu darurat menjadi kosong, bahkan hingga lepas landas, tidak ada awak kabin yang meminta penumpang untuk mengisi deretan kursi tersebut. Dan kondisi ini sangat rawan sekali ketika pesawat dalam kondisi darurat, misalnya kebakaran atau mendarat darurat. Butuh waktu yang lebih lama untuk membuka pintu, dan orang-orang yang mencoba membuka, belum tentu tahu caranya, karena tidak disosialisasikan secara khusus oleh awak kabin.

Saya kurang tahu apakah kebijakan seperti ini hanya ada di Air Asia atau maskapai yang lain juga. Namun bagi saya, tidak ada alasan apapun bagi maskapai penerbangan, untuk membiarkan deretan kursi yang dekat dengan pintu darurat menjadi kosong. Kecuali memang pintu darurat tersebut sedemikian cerdas, yang dapat terbuka otomatis ketika diperlukan.

10 thoughts on “Salahkah Aku Minta Pindah?

  1. rachma says:

    Dulu pas perjalanan dr makassar ke sby naik air asia juga banyak bangku kosong, dan penumpang pada berpindah tempat duduk
    Tapi lupa bangku deket pintu darurat kosong apa enggak. Tapi lupa nggak merhatiin..

  2. Setahu saya emang kursi darurat gak boleh kosong, dan pasti ada penjelasan dari crewnya di kursi darurat itu. Mungkin mbaknya lelah ha ha. btw wah ke Bali gak ajak2 nih…ayok mulau2 lagi 🙂

  3. dean says:

    Emang rada kurang kalo air asia dibanding yg lain, saya baru desember kmrn perjalanan dari medan ke jogja pramugarinya jutek, kalo masalah kursi kosong emang banyak apa lg kursi dkt pintu darurat yg lapang itu biayanya lain sendiri.. Berhubung bawa nyokap keadaan lg sakit terpaksa deh nyewa itu kursi demi kenyamanan nyokap..

Leave a comment