Mencari masyarakat yang bersahaja dan kental adat serta budayanya tidak perlu jauh-jauh ke luar negeri. Dekat dari ibukota ada sekelompok masyarakat yang telah memperkaya wawasan moral saya tentang kesederhanaan. Masyarakat adat desa Kanekes atau orang-orang menyebutnya Suku Baduy, telah memberikan saya pelajaran berharga akan arti kehidupan.
Desa Kanekes terletak di Kabupaten Lebak, Banten. Bersama beberapa alumni Pengajar Muda, saya akan menghabiskan sisa liburan lebaran untuk mengunjungi perkampungan Suku Baduy. Saya berangkat menggunakan kereta api menuju Rangkasbitung, ibukota kabupaten Lebak. Saya menggunakan Kereta Api Patas Merak dari Stasiun Duri dengan harga Rp. 5000,-. Tiket ini sangat murah mungkin dampak dari turunnya subsidi pemerintah untuk pengguna transportasi kereta api.
Sesuai jadwal, pada pukul 07:10 Kereta Api Merak datang dari arah Stasiun Angke. Suasana masih sangat sepi sehingga dinginnya AC masih terasa. Susunan kursi penumpang di kereta Patas Merak berhadapan sehingga membuat nyaman ketika ingin melihat pemandangan di luar jendela. Selepas Stasiun Kebayoran kereta mulai penuh sesak oleh penumpang sehingga suasana mulai tidak nyaman.
Sampai di Stasiun Rangkasbitung saya masih harus menunggu teman-teman lain yang berangkat menggunakan kereta yang lebih siang. Sambil menunggu aku berjalan-jalan dahulu ke Pasar Rangkasbitung yang tidak jauh dari stasiun untuk mencari kacamata. Pukul 12:00 WIB tim sudah lengkap. Saatnya memulai perjalanan ke Desa Kanekes melalui Ciboleger.
Sesampainya di Ciboleger kami disambut oleh Pak Samin yang akan memandu kami dalam perjalanan kaki menuju Kampung Baduy Dalam. Pak Samin merupakan warga asli Baduy. Orangnya cukup pendiam, namun sangat ramah. Beliau tinggal di perkampungan Baduy Luar tidak jauh dari pemberhentian terakhir angkutan umum di Ciboleger.
Treking dan Salah Kostum
Saya tidak mengira kalau perjalanan menuju perkampungan Baduy Dalam akan sejauh ini dan melalui medan yang cukup ekstrim. Alas kaki yang saya pakai bukanlah sandal gunung seperti teman-teman yang lain, melainkan sandal kulit *imitasi yang biasa dipakai pada saat lebaran (heheheheh).
Meskipun melelahkan, perjalanan ke Baduy Dalam sangat seru. Beberapa kali kami melalui perkampungan Baduy dimana kami bisa menemukan warganya menggunakan pakaian khas. Seluruh kehidupan mereka menyatu dengan alam, termasuk dengan bahan yang digunakan untuk membuat rumah yang umumnya dari kayu.
Setelah melalui perjalanan yang amat melelahkan, akhirnya kami tiba di Baduy Dalam sesaat sebelum gelap. Sampai di Baduy dalam, kami menumpang di rumah salah satu warga. Sungguh sangat sederhana dan bersahaja sekali warga Baduy Dalam ini. Kami bermalam hanya diterangi oleh cahaya pelita sambil bercerita mengenai kehidupan warga dengan pemilik rumah yang sangat ramah ini. Kami menyempatkan diri mandi di sungai serta menyiapkan makan malam bersama-sama. Menu yang sangat aku sukai adalah jamur goreng tepung.
Keesokan harinya kami harus berangkat pagi-pagi sekali agar tidak tertinggal kereta yang menuju Jakarta. Kami melewati jalur pulang yang berbeda dengan jalur berangkat. Ada sebuah jembatan yang terbuat dari bambu cukup panjang yang menarik perhatian kami. Jembatan tersebut dirangkai dengan penuh perhitungan sehingga mampu di lewati oleh warga yang berlalu lalang.